Minggu, 16 Januari 2011

Sekelumit Tentang Abah


Sekelumit Sejarah Hidup KH. Tb. Asep Basri


Asep Basri. Itulah sebuah nama seorang anak kecil 87 tahun lalu. Dari hasil perkawinan KH. Tb Sanwani dengan Hj. Jannah. Disebuah kampung yang masih terbelakang dan kecil, Banten. Banten adalah tempat sejarah kelahiran beliau dulu, yang kemudian hijrah ke Bogor tepatnya di kampung sanding, desa Bojongnangka, Kecamatan Gunungputri karena tuntutan orangtua. Orangtua beliau sejak dulu menggeluti dalam bidang spiritual keagamaan, atau dengan bahasa umumnya “Hikmah”. Di mana orang-orang banyak yang berdatangan memohon syareat (memohon doa agar urusannya dimudahkan Allah dan bahkan meminta ilmu-ilmu kesaktian dan kedigjayaan. Seperti tidak mempan ditembak dll).
Namun beliau tidak banyak mengenyam ilmu dari orang tuanya. Akan tetapi justru beliau lebih banyak merantau ke daerah luar (Banten) untuk mengenyam ilmu-ilmu agama (tercatat dalam tulisannya ada 30 guru, namun yang paling pertama dan terakhir adalah KH. Zuber. Nagreg, Ciomas, Serang, Banten). Cita-citanya sejak kecil ingin menjadi seorang kiyai didukung oleh orangtuanya. Bahkan doktrin yang sangat fundamental yang dirasakan dari orangtuanya adalah “Paeh hirup sia terserah Allah”. (hidup dan matinya kamu ada pada Allah). Artinya, jangan takut kehilangan orang tua, tapi takutlah akan kehilangan bekal ilmu.
Seiring dengan berputarnya roda waktu tanpa terasa begitu cepatnya. Allah panggil orangtuanya (KH. Tb. Sanwani) disaat beliau masih butuh bimbingan dan bantuan. Terlunta-luntalah hidup dalam memandang masa depan. Entah harus apa yang beliau perbuat, ilmu masih dipertanyakan, hartapun sudah usang ditelan masa dan badai, (karena ada permasalahan perwarisan yang tidak dapat penulis uraikan). Akhirnya dengan menghidupkan keyakinan kepada Allah beliau lepaskan kehawatiran dan keraguan belaka. Maka berangkatlah lagi meneruskan estafet di Pondok.
Setelah keluar dari Pondok Salafi, beliau kembali ke kampung halaman di mana beliau dibesarkan yaitu Sanding. Tempat yang gersang, terpencil dari keramaian. Di sana beliau mulai membangun ritualitas pengajian keagamaan untuk penduduk sekitar setiap ba’da Maghrib / Isya. Lambat laun nama beliaupun menggema dalam telinga masyarakat, dan dinamailah dengan julukan “Muallim Asep” (Muallim artinya guru atau ustadz).
Usiapun semakin bertambah, ibu semakin tua renta, maka disuruhnya beliau untuk cepat-cepat menikah. Tapi yang menjadi persoalan “menikah dengan siapa!, pakai apa! Mau makan apa nanti!”. Jawabnya. Karena Allah maha tahu, maka dengan berawal silaturahim ke daerah Depok, dengan izin Allah beliaupun bertemu dengan Siti Saodah, seorang putri H. Ma’mun, yang konon termasuk tokoh masyarakat setempat dan tergolong kaya harta. Disaat beliau akan berencana menikah, ternyata ada seorang saudagar kaya raya yang memohon kepada ayahnya bahwa diapun akan meminang Siti Saodah. Noar namanya. Dengan bermodalkan niat ibadah karena Allah maka dengan tidak segan-segan beliaupun lebih cepat mengambil sikap untuk menikah, dengan bermodalkan uang mahar 5 perak. Dan itupun hasil pinjaman dari seorang teman.
Setelah menjalani pernikahan, beliau sementara waktu menetap di Depok di tempat mertua, yang kemudian kembali lagi ke kampung halaman. Dengan alasan bahwa Ibu sudah tua tidak ada yang menemani, disamping pengajian jamaah di kampung terbengkalai.
Pada saat langkah dakwah mulai membumi di kampung Sanding, datanglah segerombolan BR (Barisan Rakyat. Sama halnya seperti PKI) di kampung Sanding untuk memberantas antek-antek pemerintah dan agama. Banyak para aparat pemerintah desa, kiyai-kiyai, dan guru ngaji yang meninggal karena perlakuan keji mereka. Dan tinggalah Muallim Asep yang menjadi sasaran target kemudian.
Karena ganasnya perlakuan mereka dengan membunuh orang-orang tak bersalah, maka berangkatlah Muallim Asep ke Banten yaitu ke KH. Zuber (guru pertama muallim Asep) untuk memohon mengundurkan diri bahwa beliau tidak siap berjuang di Sanding. Namun justru beliau malah dimarahi untuk kembali lagi mengamalkan ilmu. “sabar sep!. tong sieun ku anu kitu. Yeuh Puasa!, Insya Allah salamat” (sabar sep, jangan takut mati. Ini puasa!.. Insya Allah selamat). Akhirnya beliaupun kembali dengan terpaksa.
Dengan bermodalkan keraguan, beliaupun berfikir untuk apa ragu! Kita milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Akhirnya keyakinan dalam jiwapun membara untuk berniat jihad di jalan Allah.
Sampai pada suatu ketika. Ketika beliau sedang berkumpul dalam suatu majlis, sekitar ba’da Maghrib, tiba-tiba ada suara tembakan dan peluru meluncur dari berbagai arah. Banyak di antara rekan-rekannya yang meninggal. Entah apa yang harus beliau lakukan. Disaat suara senjata berhenti bersipa-siaplah beliau melarikan diri dari jendela. Namun entah mengapa di saat beliau melompat justru suara dan peluru berdatangan dari setiap arah. Berkat pasrah karena Allah datanglah pertolongan Allah, peluru yang berdatangan ternyata hanya bersahabat dengan baju saja tanpa melukai sedikitpun anggota badan.
Gentarlah hati gerombolan BR itu. “Kenapa dia tidak mati!” padahal peluru sudah ratusan dikeluarkan”. Akhirnya merekapun tunduk dan berjanji tidak akan mengganggu Muallim Asep dan bahkan masyarakat Sanding umumnya.
Nama Muallim Asep semakin terngiang di telinga masyarakat luas, sampai-sampai ada yang mengatakan jawara dan lain sebagainya. Dari situ gerakan dakwahpun mulai berkembang dengan mendirikan pesantren salafi yang lebih nyata. Mayoritas santrinya dari masyarakat sekitar dan selebihnya luar daerah.
Disaat program pesantren salafi mulai membahana, dan disaat putra putrinya sudah mulai menginjak dewasa, lambat laun merekapun bertemu jodoh, maka dinikahkanlah mereka satu persatu seiring berjalannya waktu.
Dari sana mulai mempersiapkan langkah-langkah sampai konsep dan sistem yang akan dipakai. Gerakanpun mulai merangkak. Dan tepat pada tanggal 1 januari 1985 didirikanlah Yayasan YAPIDA. Dengan di awali SMP 1985. SMA 1988 dan MTs 1990.
Gerakan ini dipelopori oleh Drs. R. Djazuli. Menantu pertama dari Rosiah, Drs. Fajri Hidayat, menantu kedua dari Titin Nuraeni. Rahmatullah Aziz Putra ketiga, dan R. Deden Ubaidillah, menantu ketiga dari Aida Rahmawati. Dan Drs. Ichsan Said. Seorang mantan santri Kiyai (Muallim Asep). Lengkaplah sudah pembentukan Yayasan dengan terdaftar dalam akta notaris yang sah.
Seiring waktu pula. Lambat laun perjalanpun dilakukan dengan sendiri lagi. Karena anak dan menantu sudah berpencar keluar daerah. Sementara si bungsu masih kecil. Dakwahpun mulai dipesatkan sampai tidak mengenal waktu dan lelah. Untuk menggelorakan syiar Islam dan Pondok.
Walau demikian, perhatiannya kepada anak dan menantu tidak dibeda-bedakan satu sama lainnya. Bahkan beliau tidak menginginkan sepeserpun pemberian dari anak dan menantu akan tetapi Ilmu yang beliau perintahkan untuk ditambah terus. Pesannya adalah “rupiah bila dipakai bisa berkurang tapi ilmu bila  dipakai semakin bertambah”.
“Memang orang hidup tidak terlihat jasa, orang mati jasa menjelma”. Itulah KH. Tb Asep Basri khususnya di mata putra putri dan menantunya. Beliau keras tapi sayang, beliau tidak mengerti menurut kami tapi ilmunya ternyata dalam. Mungkinkah orang tidak berilmu seperti beliau mampu menyinari masyarakat luas dan membangun Pondok sebesar ini dengan dua tangannya!. Sementara kita yang sarjana dan berilmu belum terlihat matangnya buah!. Justru sebaliknya. Kita harus memahami dengan mata hati dan bathin rahasia Allah dibalik itu semua. Allah murka kepada hamba yang sombong hanya berucap saja tanpa amal. Dan sebaliknya. Allah cinta kepada hamba-Nya yang tawakal pada-Nya dan mengamalkan ilmunya walaupun sedikit.
KH. Tb. Asep Basri. Yah!.. itulah sebuah nama indah yang terukir di bumi Darurrahmah ini. Yang sudah Allah panggil kehadirat-Nya pada hari Senin pukul 07. 10 WIB, tanggal 13 September 2004. bertepatan dengan tanggal 28 Rajab 1425 Hijriah. Semangatnya ketika masih hidup dan akan pulang kerahmatullah tetap berkobar dan tak pernah padam untuk membumikan Darurrahmah di mata ummat. Gerakan dakwahnya yang tidak mengenal waktu dan lelah telah beliau habiskan demi syiar Islam, baginya “Hidup adalah perjuangan dan ibadah”. Doktrin itulah yang menancap dalam hati sanubari penulis yang dalam.
Walaupun fakta sejarah membuktikan bahwa beliau tidak banyak mengenyam pendidikan, namun sejarah pula yang membuktikan bahwa beliau adalah orang yang memiliki jiwa pendidik, dan disamping itu karya-karyanya yang dapat kita lihat dan rasakan bersama. 
Sungguh betapa bodohnya kita bilamana hasil perjuangan dan karya-karya  beliau tidak kita teruskan untuk dikembangkan. Tentunya kewajiban kita sekarang ini adalah memanfaatkan momen emas ini untuk kita lestarikan dan kembangkan. Dan jangan mempermasalahkan siap atau tidak siap, tapi mari kita sepakat memandang ke depan dengan satu suara satu hati dan satu ideologi DARURRAHMAH yang tercinta.
Kini tinggal ibunda tercinta Hj. Siti Saodah yang membimbing kami dalam ruhiyah DARURRAHMAH pertiwi.
Selamat jalan Abah. Selamat jalan KH. Tb. Asep Basri. Selamat jalan Professor, Selamat jalan wahai hamba Allah yang mulia. Kami doakan engkau dalam kesejukan rahman dan rahim-Nya.
Amanahmu dan karya-karyamu akan kami abadikan dalam Konsep Idealisme Viramida 2005 di bumi Allah dengan izin-Nya. Dan doakanlah penulis agar dapat merangkul saudara nasab dan darah dalam estafet jihadmu.

Darurrahmahisme

DARURRAHMAHISME RUHIYAH PONDOK Selayang Pandang Bapak Pimpinan Pondok الحمد لله رب العالمين . وبه نستعين . ألصلاة والسلام علي حبيبه الكري...